Sabtu, 26 Oktober 2013

Flash Fiction - Remah Kerupuk

Foto: http://yuminette.deviantart.com


Sore. Menjelang berbuka puasa. Di pelataran belakang musala terlihat remah kerupuk bekas buka puasa kemarin di antara salah satu mangkuk bubur ayam dan piring mie yang bersusun memanjang. Juga, orang-orang yang akan berbuka puasa di hadapan mangkuk bubur ayam dan piring mie mereka masing-masing. Selain itu, ada kurma di atas piring kecil dan gelas-gelas minuman.

Berukuran kecil dengan diameternya kira-kira setengah sentimeter. Remah kerupuk itu tidak bergerak sedikit pun di atas lantai keramik berwarna putih. Mungkin panitia buka puasa terlewat untuk membersihkannya. Atau, sengaja tidak dibersihkan karena sudah lelah mencuci mangkuk, piring, gelas, dan kobokan kotor bekas buka puasa kemarin.

Tidak diketahui dari arah mana datangnya, seekor semut hitam sedang mendekati remah kerupuk. Oh, tidak. Dua. Tiga. Lima. Tujuh. Sebelas. Ternyata semut hitam itu bersama gerombolannya. Sulit menghitung jumlah mereka dengan tepat. Gerakan mereka cepat. Ke kanan, ke kiri, ke kanan, berputar. Mungkin di dalam gerombolan itu ada dua belas semut hitam. Tetapi itu hanya perkiraan saja. Bisa saja lebih, atau malah kurang.

Riuh suara-suara semut memadati sekeliling remah kerupuk. Suara-suara itu hanya terdengar oleh semut-semut saja. Kecuali ada manusia yang bisa bahasa semut. Kamu tahu, hanya Nabi Sulaiman yang bisa.

“Tenanglah, kawan-kawanku,” teriak salah seekor semut di tengah-tengah keriuhan sambil mengangkat kaki kanannya yang bagian depan ke hadapan semut-semut lain.

Keriuhan belum mereda. Kemudian terdengar teriakan lagi. Tapi kali ini sumber teriakan itu berasal dari mulut semut lain. “Kenapa kamu menyuruh kami tenang, Pemimpin?” tanya semut itu.

“Turuti saja. Kamu tidak akan bertanya kalau sudah tahu itu ada manfaatnya,” jawab Pemimpin gerombolan semut itu.

“Baiklah.”

Semut-semut lain juga akhirnya menurut. Mereka berhenti ribut. Pemimpin gerombolan meminta salah satu semut untuk mau membaui remah kerupuk itu. Lalu, dari kerumunan keluar seekor semut. Bentuk fisiknya sama dengan semut-semut yang lain. Hanya saja badannya sedikit lebih besar.

“Aku saja,” seru semut itu.

Setelah Pemimpin gerombolan mempersilakan, semut yang badannya sedikit lebih besar itu segera mendekati remah kerupuk. Di hadapan remah kerupuk, kedua antenanya bergerak-gerak. Ditempelkannya kedua antenanya ke remah kerupuk secara bersamaan. Semut-semut lain memperhatikan dengan khusyuk.

“Ini adalah kerupuk,” kata semut itu setelah berhasil mengidentifikasi. Semut-semut lain menyambutnya dengan sorak sorai. Ada yang sambil menari-nari dengan cara berputar-putar karena kegirangan.

“Ayo, cepat. Satu semut tolong bantu dia mengangkat remah kerupuk itu,” kata Pemimpin gerombolan.

“Tidak usah. Aku cukup kuat untuk mengangkatnya sendirian.”

“Kalau begitu, silakan. Kita akan ke sana. Antenaku mendeteksi ada yang manis.”

Gerombolan semut berjalan menuju ke arah yang disebut Pemimpin gerombolan ada yang manis. Letaknya persis di samping gelas kaca. Jaraknya kurang lebih tiga puluh satu sentimeter dari tempat mereka menemukan remah kerupuk. Dekat sekali. Tetapi itu lumayan jauh untuk ukuran semut.

Sampai di tempat ada yang manis, semut-semut langsung mengerubungi sesuatu yang basah berwarna merah jambu itu. Tanpa meminta bantuan semut lain, Pemimpin gerombolan menggerak-gerakkan kedua antenanya sebelum menyentuhkannya ke benda cair yang ada di hadapannya.

Sensor di antena Pemimpin gerombolan memberikan informasi ke otaknya bahwa benda cair itu adalah sirup bercampur susu kental manis. Pemimpin gerombolan langsung memberi tahu kawan-kawannya. Semut-semut bersorak sorai lagi. Semut yang agak besar meletakkan remah kerupuk ke lantai. Kemudian mengikuti semut-semut lain menyesap sirup bercampur susu kental manis itu.

Gerombolan semut itu asyik sekali menyesap tumpahan sirup bercampur susu kental manis. Rasa enak dari sirup bercampur susu kental manis membuat mereka tidak sadar bahwa ada seseorang mendekati mereka. Panitia buka puasa berjongkok membersihkan lantai yang basah itu dengan kain lap. Tidak ada satu semut pun yang sempat melarikan diri. Karena tidak memiliki kemampuan seperti Nabi Sulaiman, dia tetap mengelap hingga dirasa cukup. Tidak memedulikan teriakan dan beberapa sumpah serapah semut-semut yang dia lap. Bersamaan dengan itu sirene dari Masjid Raya Sabilal Muhtadin tanda maghrib tiba berbunyi. Aku menghentikan lamunan untuk memakan buah kurma.


Maulana Usaid
26 Oktober 2013

2 komentar:

Komentar-komentar