Sabtu, 27 September 2014

Kepada Mila


Mila,

Seperti hatimu, kering kemarau. Dilanda panas yang lama. Sunyi berkepanjangan. Hatimu akan mengeras. Seperti air di dalam kulkas, menjadi es. Lalu kemudian menjadi pecahan-pecahan tak beraturan ketika dihantamkan kepadanya benda keras macam batu, atau palu. Akibat ulahmu sendiri yang tak bisa mengontrol pikiran dan perasaan. Namun bisa juga meleleh, kembali menjadi air lagi.

Itu terserah kamu maunya apa. Aku tidak tahu apa maumu. Tapi mauku adalah membuatmu senang. Yang sekaligus membuatku juga senang. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Kamu lah yang mesti mengkhawatirkan dirimu sendiri bahwa mungkin saja tidak menjadi senang oleh diriku.

Ketika kamu bertanya apa serunya naik motor sendirian tidak tentu arah tujuan sewaktu malam, aku diam. Tujuh detik kemudian aku bilang kepadamu, “Baik, aku ceritakan sekarang.”

Kamu harus percaya bahwa itu benar-benar tujuh detik. Aku menghitungnya dalam hati. Kamu tidak tahu saja. Nyatanya benar, kamu tidak bisa membaca hati orang lain. Kecuali kamu adalah dokter yang mendiagnosisku mengidap liver atau tidak. Kamu tentu tahu, aku lebih memilih sehat. Aku tidak suka minum obat. Tapi, siapa yang mau sakit, dia pasti orang yang aneh.

Tentu kamu juga sudah tahu bahwa aku tidak terbiasa menarik gas motorku dengan kecepatan rendah. Aku sering terburu-terburu untuk sampai tujuan. Berkejaran dengan pengemudi motor lain seperti sedang balapan. Atau menyalip mobil di depan yang menghalangi pandangan. Atau menyalip motor di depan yang knalpotnya menembakkan asap bau.

Kemudian aku merasa untuk perlu menurunkan kecepatanku. Untuk lebih menikmati perjalananku. Melihat-lihat toko-toko, orang berjualan, sepasang kekasih di atas motor di pinggir jalan yang gelap, pohon-pohon di median jalan.

Hei, aku sekarang jadi menyukai lampu jalanan. Mereka berjejer di median atau pinggir jalan, berpendar kuning atau putih. Apalagi kalau sedang gerimis. Coba kamu perhatikan gerimis yang jatuh di bawah lampu jalanan itu, kamu tidak akan sadar, tahu-tahu lampu sudah jadi hijau dan orang di belakangmu membunyikan klaksonnya dengan perasaan jengkel.

“Itu saja?” tanyamu ketika aku tiba-tiba diam. “Tunggu sebentar, aku sedang mengingat,” jawabku. Aku kurang pandai dalam hal mengingat. Apalagi mengingat wajah seseorang yang jarang atau sudah lama tidak ditemui. Ketika tidak sengaja bertemu dengannya di jalan, aku berusaha berusaha keras mengingat pernah melihat atau bertemu orang itu di mana sebelumnya. Syukur-syukur aku langsung ingat, tapi kadang-kadang sampai rumah baru bisa ingat, atau tidak sama sekali.

Oh, aku sudah ingat sekarang. Sambil berkendara angin dingin malam meniup-niup mukaku. Aku sudah menyukai itu sejak kecil. Aku dan orang tuaku jalan-jalan naik motor malam-malam. Asyik sekali ketika muka menjadi dingin kena angin malam. Dan menjadi kecewa begitu sampai rumah karena hal yang menyenangkan itu juga berakhir.

Aku juga memikirkan dan merenungkan banyak hal tentang kehidupan. Beradu dengan pikiranku sendiri. Maafkan aku kalau ceritaku ke sana kemari. Sama seperti pikiranku yang sering jalan-jalan ke mana saja ia maui. Ke Bandung, ke Mekah, ke Singapura, ke pasar, ke toko buku, sementara tubuhku telentang di atas kasur busa di atas lantai miring kamarku sambil memandangi dinding kamar yang kugambari bangunan-bangunan khas negara di dunia.

Kadang-kadang aku berhenti lalu memarkir motorku untuk beli gorengan di pinggir jalan. Makan gorengan duduk di atas motor sampai melihat-lihat orang lalu lalang. Kalau beruntung, aku bisa melihat pemandangan bagus. Tak terduga, aku juga bisa bertemu kawan lama di sana. Saling bertegur, menanyakan kabar, basa basi, serta hal-hal remeh lainnya untuk membunuh keadaan canggung.

Atau kalau mau, aku singgah beli jus buah di tempat lain. Minum jus sambil mengobrol dengan paman penjual jusnya yang kuawali dengan basa basi yang sudah direncanakan sebelumnya. Kemudian, jika beruntung, ia akan membeberkan beberapa rahasia kepadaku. Dan akhirnya aku mesti membayar sebelum beranjak pergi.

Naik motor sendirian tidak tentu arah tujuan sewaktu malam itu asyik. Tapi tentu saja, lebih asyik lagi kalau berdua. Bisa berbagi pemikiran masing-masing di atas motor. Dan mempertahankan argumen sendiri jika yang lain mendebatnya. Atau mengalah bila tak ingin lelah.

Maukah kamu, Mila? Biar nanti kulap debu di jok belakangku.


26 September 2014

1 komentar:

Komentar-komentar