Jumat, 17 Juni 2011

Dilema, Antara Sastra dan Teknologi

Akhir-akhir ini—ya, semakin hari kuliahku semakin kurang aku urusi. Kalau ada tugas baru aku belajar. Oke, oke, enggak semua mata kuliah aku belajar jika ada tugas. Misalnya saja mata kuliah Organisasi Komputer—mata kuliah yang agak rumit, mempelajari tentang komponen-komponen komputer secara mendalam. Jika ada tugas aku cuma mengcopy-paste hasil kerjaan temanku—bukan, aku enggak enggak sepenuhnya mengcopy-paste, tapi, aku minta ajari dia sedikit yang akhirnya mengcopy-paste juga.
Pada awal-awal masuk kuliah aku enggak begini. Begitu semangatnya aku belajar—seperti biasa, diawal-awal pasti semangat berapi-api. Bahkan, pas praktek Algoritma dan Bahasa Pemrograman yang selesai mengejakan laporan pertama kali adalah aku—menurut sepengetahuanku. Juga, pas Ujian Tengah Semester Algoritma dan Bahasa Pemrograman aku dapat mengerjakannya dengan mantap. Ujian Tengan Semester Matematika pun aku enggak ikut, soalnya nilai kuisku 100 berturut-turut.
Lalu, di pertengahan semester semangatku perlahan-lahan menyurut. Alasan utamanya jelas, malas. Aku juga kecewa karena dalam seminggu aku jarang sekali kuliah. Bukan karen akau suka bolos. Ada sebagian dosen yang jarang masuk. Aku kecewa, tujuanku kuliah kan untuk mendapatkan transfer ilmu dari dosen, tapi... Enggak, enggak, kecewaku seharusnya enggak boleh berlebihan. Salahku juga, aku malas. Dan sering nongkrong menghabiskan waktu sama teman-teman. Bodoh. Aku kan bisa mencari materi kuliah di internet dan memperlajarinya. Ya, aku memang melakukanya. Kucari hal-hal yang berhubungan denga kuliahku di internet, tapi habis itu, blasss... akhirnya cuma menjadi tumpukan file yang menuh-menuhin isi harddisk-ku.
Masalah lainnya adalah aku mulai menyukai sastra. Sebenarnya, sejak SD aku sudah tertarik dengan yang namanya buku, aku suka ke toko buku dengan ayahku dan ada saja buku yang membuatku tertarik ingin membelinya. Kali ini agak beda. Bukan hanya tentang buku, tapi juga cerpen dan puisi. Ya, aku suka ketiganya. Aku lebih senang membeli buku ketimbang lainnya, misalnya baju baru. Sebenarnya bukan senang, tapi teramat senang. Akan lebih senang lagi jika ada yang menghadiahiku buku. Kemarin, pas hari kelahiranku 12 April, Yora menghadiahiku buku—empat buku sekaligus. Betapa senangnya aku saat itu, ada yang menghadiahiku buku.
Untuk mempelajari sastra kan enggak harus kuliah jurusan Sastra. Apalagi sudah lama aku menginginkan kuliah di Teknik Informatika, karena dunia sekarang sudah dipenuhi dengan teknologi dan aku ingin menjadi bagian dari itu. Ya, sekarang aku memang dilema—antara sastra dan teknologi.
Ya, aku tahu. Masalah utamanya adalah waktu. Aku juga tahu, penyelesaiannya ada pada diriku sendiri. Bagaimana aku bisa membagi waktuku dengan baik antara sastra dan kuliah dengan bijak. Entah bagaimana cara itu, kita liat saja nanti. Yang jelas, ah sudahlah, kisahku kali ini sudah cukup.
Entah akan ada yang membaca tulisan ini atau enggak, aku enggak peduli. Yang penting sekarang aku lega telah mengeluarkan masalah yang mengganggu pikiranku. Plong, ahhhh... Oke, semoga dilema ini segera berakhir seiring dengan tanda ‘titik’ yang mengakhiri tulisan ini.

1 komentar:

  1. mantap.....semoga sastera dan teknologinya jalan bareng....selamat malam coy

    BalasHapus

Komentar-komentar