Senin, 24 September 2012

Tentang Kisah Bayi Tampan

Tentang Kisah Bayi Tampan


Beberapa bulan terakhir aku sempat kehilangan bakat berkisah. Malam tadi, tanpa sengaja aku mendapatkan Surat dari Takita melalui blog Bang Aan. Dan surat Takita sudah menghidupkan bakat berkisahku lagi. Tidak sopan rasanya kalau surat Takita tidak kubalas. Ini surat balasanku.

Untuk Takita,

Takita, Abah dan Mamaku pernah berkisah kepadaku tentang seorang bayi kepadaku—oh iya, abah itu panggilan untuk ayah dalam bahasa Banjar. Sekarang aku ingin mengisahkannya kepadamu, Takita.

Dua puluh tahun yang lalu terlahir dengan normal seorang bayi laki-laki. Memiliki kulit yang agak hitam tapi manis, serasi dengan rambutnya yang hitam dan tebal. Badannya juga montok. Orang-orang menyebutnya Bayi Tampan.

Suatu ketika Bayi Tampan terserang demam tinggi. Karena orang tuanya bukan orang kaya, dia tidak dibawa ke dokter melainkan ke tukang pijat yang tidak lain kerabat mereka sendiri.

Berharap sembuh setelah dipijat, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Suhu demamnya meninggi. Tentu saja membuat orang tua Bayi Tampan panik. Kepanikan bertambah karena dia juga terkena diare. Di tengah kepanikan, mereka memutuskan untuk membawa bayi mereka ke rumah sakit dengan motor.

Mama Bayi Tampan terus menangis. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit mulutnya terus merapal do’a. Sambil mengendarai motor Sang Ayah menanyai kondisi Bayi Tampan.

 “Bagaimana dia sekarang, Ma?”

“Tidak bergerak, Yah. Matanya juga tertutup,” jawab Sang Mama yang sesekali menyeka air matanya sendiri.

“Sudah tidak ada harapan,” kata Sang Ayah lirih.

Sesampainya di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan santai dokter menyuruh Sang Ayah untuk merebahkan Bayi Tampan di atas meja kaca yang sebelumnya sudah ditelanjangi. Sang Ayah menurut saja, tapi sambil bergumam, “Orang mau mati, dokter ini malah santai.” Entah mendengar gumaman Sang Ayah atau tidak, kemudian dokter menyalakan kipas angin yang berada di langit-langit tepat di atas meja di mana Bayi Tampan direbahkan.

Beberapa saat setelah dokter menyalakan kipas angin, perlahan Bayi Tampan membuka matanya dan menangis. Spontan, pecahlah tangis Mama dan Ayah Bayi Tampan. Tangisan bahagia yang diiringi ucapan syukur.

Dari penjelasan dokter, diketahui bahwa Bayi Tampan terkena step. Sampai sekarang Bayi Tampan masih hidup, orang tuanya memberi dia nama Lana.

Lana senang sekali berkisah. Hanya saja dia kadang bingung kepada siapa ingin berkisah. Akhirnya dia jadikan kisah-kisahnya ke dalam tulisan, karena dia juga suka menulis. Dengan menuliskan kisah-kisahnya, Lana berharap banyak yang akan membaca kisahnya.

Kira-kira kisahku sudah cukup, Takita. Maaf ya kalau suratku berantakan. Ini kali pertama aku menulis surat untuk seseorang. Barangkali di kesempatan lain aku akan menulis surat lagi, entah kepada siapa.

Terima kasih, Takita. Terima kasih, Bang Aan.

Salam,

Lana, Si Bayi Tampan.

Maulana Usaid
22 September 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar-komentar