Senin, 25 Maret 2013

Aku Rindu Kepada

Foto: S|M (flickr.com)
 
Satu. Aku rindu kepada: air yang kuhisap dari cucian pakaian yang baru saja dijemur mamaku. Kemudian aku dimarah mamaku. Itu kulakukan bersama adikku Iril. Ketika aku masih TK.

Dua. Aku rindu kepada: ketika semua murid TK sudah pulang sedangkan aku masih bermain-main di samping sekolah. Karena mamaku adalah kepala sekolahnya. Apa yang masih dilakukannya aku tidak tahu, terserah dia. Aku hanya asyik bermain sendiri yang kemudian datang beberapa orang seumuranku. Aku mendengar salah satu dari mereka menyebut ‘lahung’. Kukira itu artinya capung. Karena waktu mendengarnya aku melihat seekor capung hinggap di tembok.

Kutanyai mamaku, “Ma, lahung itu apa?”

“Jangan sebut itu lagi.”

Tapi ternyata lahung adalah pelacur dalam bahasa Indonesia.

Tiga. Aku rindu kepada: ketika sepedaku dipinjam yang aku tahu dia seorang nakal. Namanya Nawi.

“Aku pinjam. Sebentar saja,” katanya.

Aku iyakan. Karena sebentar dan dia lebih besar daripada aku. Aku takut melawannya. Lama sekali. Dia belum mengembalikan sepedaku. Aku menangis. Dan tetap menunggu. Kemudian dia datang. Aku masih menangis.

Benar. Sebentar bukan berarti benar-benar sebentar. Bisa saja sebentar adalah untuk meyakinkan atau menenangkan penerimanya. Tapi, nyatanya tidak membuat tenang.

Empat. Aku rindu kepada: aku yang mengejek kawan sekelasku dengan memanggilnya banci. Dia marah. Kemudian menantangku duel sepulang sekolah. Aku setuju. Pulang sekolah kami berkelahi di tempat yang tidak jauh dari sekolah. Kemudian aku takut kalau dia kalah dan mengambil kayu. Lalu memukulku dengan kayu itu. Tapi, aku lah yang kalah. Setelah dadaku dihantamkan ke lututnya. Aku menangis. Lalu kami pulang.

“Kenapa bibirmu?” tanya mamaku.

“Tidak apa-apa.”

Besoknya kami berkawan lagi. Aku mencontekkan tugas mencatat ringkasan berita di tv.

Lima. Aku rindu kepada: senang sekali ketika bulan puasa sebentar lagi. Pulang shalat maghrib di mushalla aku ke warung. Beli permen kopi yang kemudian kumakan. Biar tarawih tidak mengantuk.

Enam. Aku rindu kepada: hari kelulusan SD. Aku juara satu. Dan dipanggil ke depan ruangan untuk mendapatkan hadiah. Aku melihat ke barisan bangku tamu undangan dan orang tua murid. Ada mamaku yang matanya berair.

Tujuh. Aku rindu kepada: hari kamis. Yang selalu diadakan shalat zuhur berjamaah di mushalla Al Ikhlas setelah muhadarah oleh kelas yang kena giliran. Letaknya di atas sekolahku. Tapi sekarang sudah pindah ke bawah. Oh, bukan bangunannya. Tapi dibuatkan bangunan baru. Biar orang yang sudah tua tidak susah ingin ke mushalla karena tidak lagi harus menaiki tangga.

Waktu itu aku kelas tiga SD. Tempat wudhu ramai sekali. Begitu selesai membaca dua kalimat syahadat aku bergegas ke atas. Berlari. Tangganya basah. Pada anak tangga ketiga aku terpeleset. Jatuh. Dahiku menghantam ujung anak tangga keempat. Anak tangganya tidak apa-apa. Tapi dahiku sakit sekali. Bincul. Besarnya seperti bincul shinchan ketika dijitak mamanya.

Aku dibawa ke ruang guru. Ibu Rohana meniup-niup rambutnya yang panjang dan beruban. Kemudian ditempel-lepasnya ke binculku berulang-ulang. Kukira itu cara orang tua dulu untuk mengempiskan bincul.

Setelah agak mengempis, aku disuruh pulang. Adikku juga ikut. Kami satu sekolah. Dia dua tingkat di bawahku. Rumahku dekat dengan sekolah. Kira-kira setengah jam waktu dari rumahku ke sekolah kalau dilakukan dengan mengesot. Selesai shalat zuhur bejamaah, Ibu Rohana dan beberapa guru lain menjengukku. Di mana dia sekarang? Di alam barzah.

Delapan. Aku rindu kepada: jatuh dari loteng. Ketika aku sedang asyik bermain dengan adikku Iril di loteng, mama dan acil Mudah pulang. Aku senang. Kemudian bergegas menuju tangga dan berhenti di tepinya. Aku menunduk dan menjulurkan kepala ke bawah. Entah siapa yang melakukan, tubuhku terdorong ke tangga. Duk duk duk. Lima detik kemudian aku sudah berada di lantai bawah dengan posisi tertelungkup. Satu gigi depanku lepas berserta akarnya.

Sembilan. Aku rindu kepada: dikira akan mati. Ketika bayi aku pernah terserang demam tinggi dan diare. Itu membuatku tidak sadarkan diri. Hingga aku dilarikan ke rumah sakit. Maksudnya dibawa. Itu cuma istilah.

Di Unit Gawat Darurat (UGD), aku direbahkan di atas meja dalam keadaan telanjang. Aku tidak malu. Tentu saja, karena aku pingsan dan masih bayi. Kemudian dokter menyalakan kipas angin yang tepat berada di atasku. Di langit-langit maksudnya. Seperti yang ada di sinetron, jari-jari tanganku bergerak. Lalu kedua mataku terbuka perlahan. Aku bertanya kepada dokter, “Aku ada di mana?”

Sepuluh. Aku rindu kepada: kamu. Yang kamu kepadaku bilang takut ketika hujan petir mengerikan. Yang kepadamu aku bisa kisahkan hampir segalanya. Yang kepadamu aku bisa ungkapkan senang, sedih, marah, dan kecewa. Yang ketika aku bertemu denganmu jantungku berhenti sedetik, kemudian detik berikutnya berdegup lebih kencang. Dubs dubs dubs. Yang mampu membuatku seperti semua itu. Yang, hai, siapa namamu?


Maulana Usaid
23 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar-komentar