Jumat, 20 September 2013

Flash Fiction - Cecak Nyamuk

Flash Fiction - Cecak Nyamuk


Ini adalah malam ketika aku sedang berada di dalam kamar. Merebahkan diri di atas kasur kapuk. Tanganku terangkat ke atas memegangi novel The Time Keeper karangan Mitch Albom. Dan hendak kututup setelah aku membaca kalimat terakhir pada halaman 69.

“Saat Langit menyatu dengan Bumi,” sahutnya.
Kemudian dia pun lenyap.

Jam di handphoneku sudah menunjukkan angka 12:04 AM. Padahal aku masih ingin mengetahui kisah di halaman-halaman selanjutnya, tapi mataku sudah ruyup. Lampu kupadamkan. Buonanotte.

Ngiiiinnggg! Seekor nyamuk bermanuver di dekat telingaku sebelah kiri. Aku yang sudah hampir tertidur terganggu sekali dengan keberadaan nyamuk ini. Kesal, kukibas-kibaskan tangan di samping telinga.

Sepuluh detik setelah aku berhenti mengibas-ngibaskan tangan, bunyi ngiiinnggg terdengar lagi di dekat telinga sebelah kiri. Kukibas-kibaskan lagi tangan dengan mata tetap memejam. Dan akhirnya aku bisa tenang kembali.

Sewaktu aku hendak mencoba tidur lagi, lamat-lamat kudengar suara seperti dua orang yang sedang mengobrol. Aku penasaran siapa yang sedang mengobrol itu. Jangan-jangan hantu, pikirku. Lekas kubuka kedua mata. Aku menajamkan pendengaranku untuk mencari di mana sumber suara itu. Lalu kudapati suara itu berasal dari plafon, tepat di atasku.

Kuperhatikan plafon dengan memanfaatkan cahaya lampu dari kamar sebelah yang masuk melalui ventilasi. Di sana kudapati ada seekor cecak dan seekor nyamuk. Ah, mungkin itu nyamuk yang menggangguku tadi.

Tapi, aku kira kurang tepat kalau menyebut seekor nyamuk. Sedangkan setahuku nyamuk tidak punya ekor. Tapi aku belum menemukan kata yang yang lebih tepat. Biarlah, mungkin ‘ekor’ adalah kata yang sudah disepakati untuk menyebutkan jumlah binatang. Seperti ‘orang’ untuk menyebutkan jumlah manusia. Tapi, siapa yang telah menyepakati satuan itu?

Setelah kupastikan, ternyata suara lamat-lamat tadi adalah suara mereka. Seekor cecak dan seekor nyamuk itu sedang mengobrol.

“Maaf,” katanya. Suara itu adalah suara cecak. Suara yang berat. Tipikal suara yang baru akil balig. Aku mengetahui itu suara cecak karena pada saat suara itu muncul, bibir cecak bergerak.

"Tidak apa-apa. Aku sudah kenyang minum darah orang yang sedang memerhatikan kita itu," satu kaki nyamuk menunjuk ke arahku. Aku terkesiap dan bingung harus berbuat apa selain diam. Dan terus memerhatikan obrolan dua binatang beda spesies ini di balik selimut.

"Oh. Grazie."

"Tunggu dulu. Apa katamu tadi?" nyamuk mengernyitkan dahi.

"Terima kasih dalam bahasa Italia, Muk." jawab cecak santai.

Nyamuk kagum dengan cecak yang bisa bahasa Italia. Itu terlihat dari mata nyamuk yang berbinar-binar.

“Wah. Keren, Cak!” puji nyamuk, yang membuat cecak menjadi seperti orang Surabaya dengan dipanggil ‘Cak’ oleh nyamuk.

"Biasa saja." Mendengar jawaban cecak ini aku tahu bahwa cecak bukan binatang yang senang dipuji.

"Jangan terlalu merendah begitu."

"Sungguh, aku tidak suka dengan binatang yang cerewet. Baiklah, biar aku jelaskan. Aku sebenarnya tidak pandai bahasa Italia. Tapi—"

“Tapi apa?” nyamuk memotong kalimat cecak yang belum selesai.

“Nyamuk, kamu harus ingat ini sepanjang sisa umur hidupmu. Menyela kalimat binatang lain itu tindakan yang kurang sopan.”

“Perkataanmu benar-benar bijak, Cak.”

“Tapi belum tentu sama dengan perbuatanku.”

“Oh.”

“Percayalah, aku memang tidak pandai bahasa Italia. Aku hanya mencari kata tadi di Google Translate.”

“Aku tidak percaya, Cak. Nah, apa itu? Google Translate?" nyamuk bertanya lagi. Itu membuat kekesalan cecak memuncak. Benar bahwa cecak tidak suka dengan binatang yang cerewet. Tanpa menghiraukan pertanyaan itu, cecak menjulurkan lidahnya kepada nyamuk dan ditarik kembali dengan cepat.

Oh, nyamuk yang malang. Oh, cecak yang kenyang. Buonanotte.


Maulana Usaid
20 September 2013

2 komentar:

  1. wahh..FF juga ya,, saya udah lama gak ikutan bikin, hhee...kereenn....:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah mau membaca ini dan bilang ini keren. :)

      Hapus

Komentar-komentar