Minggu, 26 Oktober 2014

Kentut Semut

KENTUT SEMUT


Selamat pagi, Semut-semut. Silakan cokelatnya dimakan. Dan dihabiskan. Jangan berebut. Ini cukup untuk kalian. Sebutir Chacha warna oranye. Jangan mondar mandir begitu. Lekas berkumpul. Makan di sini saja. Jangan dibawa pulang. Lepas itu, ada yang ingin kutanyakan ke kalian. Oke? Nah, begitu.


Ini sudah hari kedua. Cokelat yang kukasih belum juga habis. Padahal kalian beramai-ramai mengerumuni cokelat itu. Tapi kuperhatikan, ada perkembangan juga. Cokelat dalamnya sudah nampak, warna oranye yang melapisinya sudah habis kalian makan.

Kuperhatikan lagi, tapi dengan mengendap-endap seperti maling. Aku tahu, kalian pasti langsung bubar ketika aku tiba-tiba datang. Melihat kalian berkerumun begitu aku jadi teringat film serial The Walking Dead. Kalian seperti walkers yang beramai-ramai mengerumuni korban yang sedang nahas.

Tapi kalian bukan walkers, kalian semut. Yang senang mendatangi benda-benda manis, macam gula, cokelat, atau susu kental manis. Kalian mendeteksi bau manis lewat antena di kepala itu. Saling berbagi informasi kepada semut lainnya ketika bertemu di jalan dengan menempelkan antena masing-masing.

Beberapa orang tua menceritakan kepada anak mereka bahwa aktifitas kalian itu adalah berjabat tangan. Aku tidak mempercayainya. Maka aku mencari kebenarannya di mesin pencari google. Dari situlah kuketahui itu bukan aktifitas berjabat tangan.

Sebenarnya aku tidak tahu yang kutemukan itu suatu kebenaran atau bukan. Kukira, sekarang sulit untuk mencari kebenaran. Apalagi di dunia maya. Orang-orang dengan mudah menulis, menyebarkan informasi, padahal informasi itu tidak lebih dari hanya sekedar dusta alias mengada-ada.

Meski mungkin yang kutemukan itu bukan suatu kebenaran, tapi setidaknya aku mempercayainya. Aku juga tidak tahu apa yang kulakukan itu sudah benar. Aku hanya meyakininya.

Kupikir-pikir, mungkin para orang tua ingin mengajarkan suatu kebaikan kepada anak-anaknya dengan kisah kalian berjabat tangan itu. Tapi hei, apa benar untuk mengajarkan kebaikan bisa dengan mengada-ada?

Sudah lama aku ingin memberi kalian makan. Baru kemarin pagi aku menyempatkan diri. Maka kubuka sebungkus cokelat Chacha. Kukeluarkan secara acak sebutir dari bungkusnya, warna oranye yang keluar.

Kuletakkan sebutir Chacha Oranye itu di pojok kamarku. Cokelat yang tersisa aku habiskan sambil menonton film di laptop. Sambil nonton, sekali-sekali aku memeriksa Chacha Oranye. Belum ada yang mendatangi. Padahal di lantai kamarku kalian berlarian.

Film yang kutonton sudah habis. Kulihat Chacha Oranye. Ada perkembangan. Ada salah satu dari kalian berada di situ. Aku tidak tahu itu kamu atau bukan, kalian semua terlihat sama.

Aku bosan seharian cuma di dalam kamar saja. Kuputuskan untuk membaur bersama manusia lainnya. Lepas magrib pergi ke toko buku yang ada di dalam mal. Membeli Max Havelaar dengan ada dua penerbit yang menjualnya. Kubandingkan sebentar, kubaca sinopsisnya di kover belakang. Dan kuputuskan untuk membeli yang lebih murah, kovernya lebih bagus.

Kuperiksa lagi Chacha Oranye. Perkembangannya membuat hati senang. Kalian berkerumun di cokelat yang kuletakkan di pojok kamarku.

Perlu diingat, urusanku dengan kalian tidak hanya sekedar memberi makan. Seperti yang sudah kukatakan di awal. Ada hal yang mau kutanyakan kepada kalian. Tenang saja, bukan pertanyaan yang sulit.

Aku sudah dua jam di kafe ini. Mie goreng dan roti bakar cokelat sudah kuhabiskan. Yang tersisa adalah minuman soda yang masih seperempat gelas.

Aku mulai bosan di sini. Menuliskan kisah ini dengan kebisingan suara lagu dari pemutar musik kafe dan suara penjudi-penjudi poker online di meja di depanku yang mengobrol nyaring. Juga wifi yang tidak mau tersambung.

Makanya, tolong lekas dihabiskan cokelat itu. Ini sudah sore. Aku pulang dulu.

Hari keempat. Kuperiksa lagi Chacha Oranye. Aku agak kecewa.

“Hei, di mana kawan-kawanmu?” tanyaku.

Kamu terkejut. Menoleh ke arahku sebentar. Lalu lari ke sembarang arah. Enam sentimeter kemudian kupanggil lagi kamu.

“Ayolah, sebentar saja. Satu pertanyaan.”

Kamu berhenti. “Apa itu?”

“Sudah lama aku memikirkannya. Apa kalian juga kentut seperti kami manusia?”

“Iya. Kami juga.”

“Tolong buktikan.”

“Aku tidak memiliki keharusan untuk membuktikan apapun kepadamu. Lagipula aku bukan semut yang bisa mengontrol sesuka hati kapan aku mau kentut. Tapi baiklah, kuusahakan.”

Brut! 


Maulana Usaid

9 komentar:

  1. Bunyi kentut gimana ya.. kok bisa kedengeran...

    BalasHapus
  2. Brutt... Hrus hti2 nih ama smut.. Ntar dikentutin,heiehe

    BalasHapus
  3. Mungkin pas kentut si semut pake mic jadinya kedengeran B)

    BalasHapus
  4. analoginya keren, kentut semut :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehe. padahal tidak bermaksud membuat analogi.

      Hapus
  5. penasaran sama baunya,, kira-kira kaya gimana ya? emmm,,,
    brut,,, eh :D

    BalasHapus

Komentar-komentar