Senin, 27 Februari 2012

Flash Fiction - Kopi Hitam

Gambar: scicurious


Kopi hitam ini sudah dingin dan akan kubuang—seperti kemarin-kemarin. Setiap pagi kamu membuatkanku kopi hitam, selalu. Dan selalu kubiarkan saja tergeletak kaku di atas meja kerjaku persis di samping laptop yang kubeli dengan murah di pameran 7 bulan yang lalu. Tetap bergeming sejak kamu meletakkannya. “Minumlah. Cobalah sedikit, kamu akan menyukainya.” katamu setiap meletakkan mug yang ada gambar kita berdua yang selalu kujawab ‘aku tak suka kopi.’ Kamu pun tersenyum menanggapi kalimatku dan kemudian berlalu setelah mengatakan, “Kamu akan meminumnya.”

Tentu saja aku tidak meminumnya. Sudah kukatakan dari awal, kopi itu selalu kubuang. Apa enaknya kopi hitam? Warnanya hitam, pekat, membuatku jijik. Apalagi rasanya. Ahh, aku tidak sanggup membayangkan kalau aku sampai meminumnya. Membayangkannya saja membuat perutku mual.

Pernah kutanyakan padamu, kenapa begitu menyukai kopi hitam. Bahkan, satu pertanyaanku kamu jawab dengan berentet-rentet kalimat. Dasar pemuja kopi hitam.

“Kalau kamu meminumnya, kamu akan tahu alasanku kenapa.” Kamu mengawali kalimat-kalimat panjangmu tentang kopi hitam. “Katamu, hitam pekatnya itu membuatmu jijik. Kamu salah!” Terdengar penegasan kata pada ujung kalimatmu. Ini bagian yang paling aku suka, mukamu terlihat lebih manis pada saat begitu, sungguh, aku jujur. Secara refleks, bibirku tersenyum. “Kenapa tersenyum?” tanyamu heran. “Emm.. Eh, anu, kenapa aku salah?” Aku gelagapan.

“Iya, kamu salah—salah besar. Justru dibalik hitam pekatnya itu kopi hitam memiliki keistimewaan. Kamu tahu sendiri kan aku tidak langsung meminumnya begitu selesai membuatnya?” Aku mengangguk dan mencoba menggodamu, “Pasti karena masih terlalu panas kan?” Dan berhasil! Kamu tertawa, yang membuat lesung pipitmu terlihat jelas, aku tersenyum lagi. “Bodoh sekali, orang tolol mana yang berani meminum air yang masih mendidih. Boleh juga tebakanmu, tapi bukan karena itu, melainkan aromanya. Kamu pernah mencium aromanya bukan?” “Belum,” jawabku singkat. “Oh, aku lupa. Kamu selalu langsung menutup mugnya begitu aku meletakkannya di mejamu.”

“Keistimewaan kopi hitam terletak pada aromanya…..” mendadak kupotong penjelasanmu, “Hanya itu?” “Diamlah, biar kulanjutkan. Aromanya yang khas lah yang membuatku jatuh cinta pada kopi hitam. Bukan sekedar wangi, tapi—aku belum menemukan kata yang tepat untuk menggambarkannya. Air mendidih membuat aromanya menguar sangat tajam. Aku ingin lebih menikmatinya lagi, itulah kenapa aku mengibas-ngibaskan tangan di atas gelas kopi hitamku supaya semua aromanya masuk ke hidungku.”

“Oh, kupikir kamu sudah gila.” Kali ini godaanku tidak berhasil. Kamu terus saja menyatakan kekagumanmu akan aroma kopi hitam. Kamu tidak tahu sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan argumen-argumen kopi hitammu. Yang membuatku betah mendengarkan adalah caramu berargumen, lucu. Hingga akhirnya kamu mengatakan satu kalimat yang kemudian akan selalu kuingat, “kamu akan meminumnya…..” sebelum kamu berlalu menuju dapur untuk membuat kopi hitam.

Di pagi ini, di seratus hari kematianmu, kepingan-kepingan kenangan ocehanmu menguar seiring aroma kopi hitam yang yang kuaduk di dalam mug yang dulu, mug bergambar kamu sedang menjitak kepalaku. Aroma kopi hitammu beradu dengan To Zanarkand—OST dari Final Fantasy. Lihat, lihat mataku! Aroma kopi hitammu membuat mataku berembun. Iya, kamu telah menang, aku akan meminumnya.


Maulana Usaid
Pebruari 2012

1 komentar:

Komentar-komentar