Selasa, 07 Februari 2012

Resensi Buku- The Lost Boy

Judul: The Lost Boy
Penulis: Dave Pelzer
Terbit: Oktober 2003 (cetakan keenam)
Tebal: 332 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Resensi The Lost Boy
Kemudian, pada waktu itu, pembimbingku itu memandang dengan menunduk ke arahku lalu tersenyum. “Kau anak baik, Pelz-man. Raihlah itu.” (halaman 294)

Setelah kejaksaan memutuskan David untuk tinggal bersama orangtua asuh berakhirlah sudah berbagai penyiksaan yang dilakukan Ibunya kepadanya. David menjalani hari-hari barunya bersama orangtua asuh. Akan tetapi, masalah David belum selesai sampai di situ. Justru, masalah-masalah baru bermunculan.

Ia harus berpindah-pindah dari orangtua satu ke orangtua asuh lainnya. Baru saja ia bisa menyesuaikan diri di lingkungan yang baru, sudah harus pindah lagi ke lingkungan yang lain. Sebagai anak asuh, David dipandang sebelah mata oleh murid-murid lain di sekolah. Dalam perjalanan pencarian cinta, kasih sayang, terlebih lagi ia ingin keberandaannya ‘diakui’ dan ‘diterima’, cenderung membuatnya terlibat dalam berbagai masalah.

Sampai suatu ketika David terlibat dalam masalah yang cukup besar, ia dituduh melakukan pembakaran sekolah. Mengetahui hal itu, kesabaran Jody—orangtua asuh David—terhadap kenakalan-kenakalannya sudah habis. Jody pun mengirimnya ke pusat rehabilitasi anak, demi kebaikannya sendiri. Di saat itulah kesempatan Ibu David menuntut balik untuk mengambilnya kembali. Ibu David berdalih bahwa yang dilakukannya itu semata untuk medisiplinkannya, karena ia memang anak nakal. Untungnya, selama di pusat rehabilitasi sikapnya berangsur-angsur menjadi lebih baik. Dan itulah yang membuatnya mengalahkan Ibunya di kejaksaan.

Dalam perjalanan pencarian cinta dan jati dirinya yang panjang, akhirnya David berhasil meninggalkan masa lalunya yang suram. Dan menjadi seorang pria bernama Dave.

Aku sedikit bosan saat membaca buku ini, berbeda dengan buku sebelumnya A Child Called ‘It.’ Bagiku, penyampaian kisahnya sedikit datar, sehingga membuatku agak lama untuk  menyelesaikannya. Juga, pertanyaanku: Mengapa Ibu Dave ‘sakit?’ masih belum terjawab di buku ini. Mungkin, di buku selanjutnya—A Man Named Dave—akan ada jawabannya. Atau memang, tak semua pertanyaan harus dijawab. Terlepas dari kebosananku dengan buku ini, ada beberapa bagian yang menjadi favoritku.

Saat Lilian—orangtua asuh David—membela David.
“Aku ingin kau tahu bahwa aku tak peduli apa yang dikatakan orang—siapa pun orang itu—kepadamu. Aku dan Rudy selalu ikut berjuang bersamamu, demi kebaikanmu, dan kami akan melakukan apa pun. Kalau kami harus menyewa seorang pengacara, kami akan lakukan itu. Kalau kami harus masuk neraka lalu kembali lagi, kami bersedia melakukan itu juga. Kami selalu berjuang demi dirimu. Begitulah kami, para orangtua asuh!” (halaman 199)

Saat  David yang beranjak dewasa mengunjungi Ayahnya.
Sebelum berbalik untuk pergi, Ayah mengucapkan kata-kata terakhirnya, “Lakukanlah apa yang harus kau lakukan. Jangan jadi seperti diriku.” (halaman 288)

Dan yang paling kusukai adalah kutipan di awal tulisan ini.

Maulana Usaid
7 Pebruari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar-komentar