Jumat, 10 Februari 2012

Resensi Buku - Neraka Cermin

Judul: Neraka Cermin
Penulis: Edogawa Rampo
Terbit: 2010 (cetakan kesatu)
Tebal: 104 halaman
Penerbit: Bukukatta



Resensi Neraka Cermin
Sudah lama aku tahu buku ini, tetapi baru sekarang tertarik untuk membacanya. Yang membuatku tertarik tak lain karena pengarangnya adalah Edogawa Rampo. Dia adalah pengarang yang mempunyai  julukan sebagai ‘Bapak Cerita Misteri Jepang.’ Pengarang yang bernama asli Hirai Taro ini mengambil nama penanya dari pengucapan nama penulis Edgar Allan Poe dalam bahasa Jepang.

Yang membuatku lebih tertarik lagi adalah Detektif Conan atau nama lengkapnya Conan Edogawa. Ya, nama Conan Edogawa merupakan gabungan dari dua pengarang misteri terkenal, yakni Sir Arthur Conan Doyle dan Edogawa Rampo. Siapa yang tidak tahu, Sir Arthur Conan Doyle adalah empunya kisah detektif legendaries Sherlock Holmes.

Neraka Cermin adalah kumpulan cerpen yang terdiri dari enam kisah misteri. Kisah pertama berjudul ‘Neraka Cermin’ yang menjadi judul buku ini. Neraka Cermin bercerita tentang seseorang bernama Kan Tanuma yang tergila-gila dengan benda optik atau apapun yang bisa memantulkan bayangan. Kegilaannya akan benda optik ini akhirnya menjadikannya benar-benar gila.

Kisah kedua adalah ‘Jurang,’ tentang pembicaraan intim antara pria dan wanita yang duduk di bebatuan di atas sebuah jurang. Mereka sepasang suami istri yang membicarakan seorang pria yang merupakan suami terdahulu si wanita yang dibunuhnya karena pembelaan diri. Dan, kejadian yang sama terulang lagi. Si wanita membunuh suaminya yang sekarang. Dengan alasan yang sama, yaitu pembelaan diri.

Selanjutnya adalah’Kembar (Pengakuan Seorang Penjahat pada Pendeta).’ Kisah seorang yang membunuh saudara kembar identiknya, dilatarbelakangi rasa iri karena kakaknya mendapat warisan lebih banyak. Lalu, dia menyamar menjadi kakaknya. Dengan penyamarannya itu dia melakukan banyak kejahatan lainnya. Menjelang hari pelaksanaan hukuman matinya dia melakukan sebuah pengakuan atas kejahatan-kejahatan yang dilakukannya kepada seorang pendeta.

Lalu, ada ‘Kursi Bernyawa.’ Berawal dari rumah seorang penulis pada sebuah majalah, dia bernama Yoshiko. Sebagai penulis yang ramah dia sering menyempatkan waktu untuk membaca surat-surat dari penggemarnya. Suatu kali, dia menerima surat dari penggemarnya. Yoshiko mengira isi surat itu adalah naskah dan si pengirim ingin minta kritik. Anehnya, naskah itu tanpa judul.

Di surat itu, si pengirim menceritakan kisah hidupnya bahwa dia adalah seorang tukang pembuat kursi yang berwajah buruk. Suatu hari dia menerima pesanan dari sebuah hotel untuk membuat kursi yang tak biasa. Setelah selesai membuat kursi, seperti biasa, dia selalu duduk membenamkan diri di atas kursi yang telah dibuatnya dan membayangkan hal-hal yang indah. Disaat itulah di pikirannya muncul ide gila untuk membongkar kembali kursi itu dan membuat sebuah ruang rahasia di bawahnya.

Setelah selesai membongkar ulang, sang pembuat kursi masuk ke dalam ruang rahasianya hingga membuat orang lain beserta asistennya menganggap dia lenyap. Kemudian, kurir pengantar barang datang untuk membawa kursi—yang sekarang menjadi tempat tinggal pembuat kursi pemilik wajah buruk—ke hotel.

Berhari-hari dia tinggal di dalam kursi dengan berganti-ganti orang yang mendudukinya, hingga hotel membuat kebijakan untuk melelang beberapa barang mewah supaya pemasukan hotel meningkat. Singkat cerita, kursi telah berpindah ke toko mebel dan kemudian dibeli oleh pegawai pemerintahan untuk istrinya.

Ini yang menjadi bagian terpenting dalam surat itu, kursi itu adalah kursi yang sedang diduduki oleh Yoshiko. Betapa terkejutnya dia ketika membaca bagian itu. Mengetahui dirinya terancam bahaya, dia langsung bergegas ke kamarnya mengurung diri. Tapi, tak lama kemudian pelayannya datang membawakan surat. Ternyata, dari orang yang sama dengan pengirim sebelumnya. Surat itu berisi penjelasan bahwa pengirim mengetahui Yoshiko membeli kursi tersebut. Dan isi surat sebelumnya hanya imajinasinya yang diberi judul Kursi Bernyawa.

Kisah yang kelima berjudul ‘Dua Orang Pincang’ tentang dua orang pincang yang membicarakan masa lalu mereka. Dan ketujuh ‘Ulat’ tentang seorang wanita yang merawat suaminya yang cacat akibat perang.

Dari keenam kisah tersebut, yang paling kusukai adalah Kursi Bernyawa. Ide yang unik dengan ending yang tak terduga—keren. Itulah kenapa aku menceritakannya kembali lebih rinci daripada kisah lainnya. Untuk ukuran tulisan buku ini aku suka, karena lumayan besar sehingga mataku tidak sakit saat membaca.

Dan, yang membuatku penasaran: kenapa di setiap awal kisah ada gambar tangan mempunyai satu mata? Apakah ada hubungannya dengan….. ah, sudahlah.

Maulana Usaid
10 Pebruari 2012

2 komentar:

  1. buku klasik yang menarik...
    review juga menarik... :)

    BalasHapus
  2. Dan, yang membuatku penasaran: kenapa di setiap awal kisah ada gambar tangan mempunyai satu mata? Apakah ada hubungannya dengan…ZIONIS ah, sudahlah.

    BalasHapus

Komentar-komentar