Jumat, 08 Juni 2012

Resensi Buku - Sebelas Patriot

Judul: Sebelas Patriot
Penulis: Andrea Hirata
Terbit: Juni, 2011 (Cetakan Pertama)
Tebal: 112 halaman
Penerbit: Bentang


Resensi Sebelas Patriot

‘Goooooollllll!!!’ adalah kata yang paling ditunggu ketika menonton pertandingan sepak bola. Ini, novel yang menceritakan tentang itu.

Sebelas Patriot, menceritakan kecintaan seorang anak bernama Ikal dengan sepak bola. Dia ingin seperti Ayahnya yang pada zaman penjajahan Belanda adalah seorang pahlawan lapangan hijau.

Dulu, di pulau Belitong sepak bola merupakan sebuah simbol perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajah Belanda. Orang-orang Melayu dipaksa untuk memperingati hari kelahiran Ratu Belanda. Lalu diadakan pertandingan olahraga dalam kompetisi piala Distric beheerder. Akan tetapi, jika pertandingan antara orang jajahan melawan Belanda, maka yang harus dimenangkan adalah Belanda. Jika membangkang akan dibawa ke tangsi—sebuah tempat penyiksaan bagi si pembangkang. Salah satu olah raga yang dipertandingkan adalah sepak bola.

Ayah Ikal bersama 2 abangnya adalah pemain kulit bundar yang hebat. Karena takut, Belanda melarang mereka ikut dalam pertandingan melawan tim Belanda.

“Namun, mereka tak menghiraukan larangan itu. Sebelas pemain, sebelas patriot berbaris tegak, tak dapat lagi ditakuti Belanda.” (halaman 28)

Dan, Ayah Ikal berhasil mencetak satu gol untuk Indonesia.

“Ayahmu berteriak-teriak, ‘Indonesia! Indonesia! Indonesia!’” (halaman 29)

Usai pertandingan Ayah Ikal, abang-abangnya, dan pelatih Amin dikurung di tangsi selama seminggu. Ayah Ikal keluar dari tangsi dalam keadaan tempurung kaki kiri hancur yang membuatnya tidak bisa bermain bola lagi. Untuk itu, Ikal meneruskan mimpi Ayahnya dan menjadi pemain PSSI.

Sebuah kisah mengharukan antara Ayah dan anak. Kisah yang membangkitkan semangat dan harapan bangsa Indonesia. Buku ini harus dibaca para penggila bola—juga yang tak gila bola. Dengan gaya bahasa dan penyampaian yang ringan membuatku membaca Sebelas Patriot ini seperti sedang mendengarkan kisah dari seorang kawan.

Ada hal menarik ketika Ikal menonton pertandingan antara Real Madrid dan Valencia. Ini tentang patriotisme.
Ketika Real Madrid berhasil mencetak gol, puluhan ribu penonton berteriak, “Real! Real!” Aku berteriak, “Indonesia! Indonesia!” (halaman 99)

Ah, aku tidak bisa menahan untuk tidak mengutip paragraf-paragraf di bawah ini. Tidak apa-apa kan kalau aku tulis?

Semua hal ada dalam sepak bola. Trompet memekakkan, kembang api yang ditembakkan, dan api suar yang dilambai-lambaikan dari atas pagar pembatas oleh lelaki kurus tak berbaju itu adalah perayaan kegembiraan. Bendera raksasa yang berkibar-kibar adalah psikologi. Mars penyemangat yang gegap gempita adalah seni. Orang-orang yang duduk di podium kehormatan—di tempat paling nyaman menonton bola—adalah politik, dan orang-orang berdasi yang sibuk dengan telepon genggamnya di belakang jajaran politisi itu adalah bisnis.
Lelaki kurus tadi, yang sehari-hari berdagang asong di gerbong kereta listrik Bogor-Jakarta, menabung lama demi membeli tiket menonton PSSI lalu berteriak mendukung PSSI sampai habis suaranya, hingga peluit panjang dibunyikan, adalah keikhlasan. Para pemain menunduk untuk berdoa adalah agama. Penjaga gawang memeluk tiang gawang sebelum bertanding adalah budaya. Ratusan moncong kamera yang membidik lapangan adalah sejarah. Ayah yang membawa anak-anaknya untuk menonton bola adalah cinta. Bocah-bocah murid SD Inpres di pinggiran Bekasi yang patungan untuk menyewa angkot, berdesak-desakan di dalam mobil omprengan demi mendukung PSSI adalah patriotisme. Catatan skor pada papan elektronik raksasa yang ditatap dengan perasaan senang yang meluap-luap atau kecemasan yang tak terperikan adalah sastra yang tak ada bandingnya. Menjadi penggila bola berarti menjadi bagian dari keajaiban peradaban manusia. (halaman 96-98)

Dari semuanya, kalimat yang paling aku suka adalah perkataan Ayah Ikal ini.

“Nilai empat kan lebih baik daripada nilai nol, aih, janganlah takut, Bujang, janganlah takut.” (halaman 31)

Ayo, baca segera Sebelas Patriot. Dan teriakkan, ‘Indonesia! Indonesia! Indonesia!’

Maulana Usaid
7 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar-komentar