Lebih dari seminggu yang lalu, tepatnya hari Jum’at tanggal 14 Desember 2012 acilku (bahasa banjar dari tante) kecelakaan. Namanya Acil Dewi. Dia sedang mengendarai motor dengan dua anaknya membonceng di belakang dan ditabrak mobil dari belakang.
Mendapat kabar bahwa Acil Dewi ditabrak orang, aku dan mamaku langsung mendatangi tempat kejadian. Abah dan Uak Maji juga pergi ke sana. Sesampainya di tempat kejadian, sudah ada abahku, Uak Maji, dan perempuan cantik yang belakangan kuketahui adalah kawan sekantor Acil Dewi. Acil Dewi dan dua anaknya sudah ada di dalam mobil untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. Awalnya aku kira itu adalah mobil orang yang menabrak Acil Dewi. Ternyata bukan, dia kawan sekantornya, Om Helman. Dan orang yang menabrak sudah pergi setelah menyalahkan Acil Dewi.
Aku dan mamaku di belakang mengikuti mobil menuju rumah sakit. Setiap ada yang menghalangi mobil segera diklakson berkali-kali oleh Om Helman. Kadang Om Helman turun dari mobil apabila macet dan memberitahu bahwa dia harus didahulukan karena membawa orang kecelakaan ke rumah sakit.
Karena melewati pemukiman warga, ada sebagian orang yang marah mendengar klakson mobil berkali-kali. Penjual pentol menyumpah. Ada juga waktu berpapasan dengan motor, pengedara motor itu juga marah mendengar klakson mobil berkali-kali. Dia menggas motornya berkali-kali sambil menginjak pedal gigi dan menahannya, istilah bahasa banjarnya adalah mengupal—aku belum tahu apa bahasa Indonesianya. Melihat itu aku hanya tersenyum kecil.
Setelah diperiksa oleh petugas IGD, kepala Acil Dewi dirontgen. Kemudian hasil rontgen didiagnosis dan Alhamdulillah tidak ada tulang yang retak atau penyakit dalam lainnya. Hanya luka memar. Kedua anaknya hanya luka kecil
Selama tiga hari Acil Dewi sekeluarga bermalam di rumahku karena kalau langsung pulang ke rumahnya tidak ada yang merawat. Rumahku jadi ramai. Seninnya, mereka pulang.
Senin kemarin, aku, Gina, dan Kausar berencana nonton film di XXI Duta Mall. Bioskop satu-satunya di Banjarmasin. Dulu sih banyak bioskop. Sekarang cuma satu.
Gina tidak bisa bawa motor sendiri karena mamanya lebih yakin kalau dia membonceng di belakang. Siang sekitar jam 1 aku jemput dia karena jarak rumahku lebih dekat. Kausar menyusul dan bertemu di XXI. Sampai di XXI, ah, antreannya panjang sekali. Akhirnya kami putuskan tidak jadi nonton. Selain karena antreannya panjang, sorenya Kausar ada janji dengan kawannya yang lain.
Karena lapar, kami putuskan untuk makan di warung Dadang. Kemudian ke rumah Gina makan es krim. Aku dan Kausar diancam tidak boleh pulang sebelum bisa memperbaiki modemnya yang sinyalnya tidak mau muncul. Aku tahu itu cuma ancaman, tapi Alhamdulillah akhirnya modem Gina bisa dipakai ngenet. Aku dan Kausar bisa pulang.
Nah, waktu akan menjemput Gina aku mengalami musibah. Motor matic-ku mogok. Aku coba menyalakannya berkali-kali tapi sia-sia. Motorku tetap tidak mau nyala. Kebetulan sekali aku melihat ada bengkel Honda di dekat situ. Ke sanalah aku.
Kata mekaniknya motorku harus diservis. “Wah. Baru seminggu diservis masa harus diservis lagi. Duitku juga kurang. Lagipula, pasti nunggunya lama. Ada banyak orang duduk di tempat tunggu.” kataku dalam hati.
“Yah. Duit saya kurang, Pak.”
“Nggak bisa,” jawab mekanik santai.
“Tolong periksakan sebentar lah, Pak.” aku mencoba minta tolong.
“Nggak bisa.”
“Yasudah. Bapak tahu nggak bengkel motor biasa di dekat sini?”
“Ada. Terus saja dari sini. Dekat kantor tentara,” bapak mekanik menjelaskan sambil menunjuk ke arah bengkel yang dimaksud.
“Oh. Makasih, Pak.”
Aku coba untuk menekan starter lagi. Tapi tetap tidak mau nyala. Waktu aku mau membawa motorku ke jalan raya, tiba-tiba ada kakek tua satu meter di sebelah kananku memarahiku karena aku menghalangi jalannya.
“Ayo cepat! Cepat!” bentak Si Kakek.
Aku hanya diam sambil memandangi kakek itu. Aku juga ingin cepat. Tapi di jalan raya lagi banyak motor karena lampu merah. Melihat aku hanya diam, Si Kakek terus membentakku.
“Ayo cepat! Cepat! Cepat!” teriaknya lagi sambil mengacungkan tongkatnya kepadaku.
Aku tidak tahan lagi. Kesabaranku hilang. Aku balas bentak dia.
“Mogok! Mogok!” teriakku yang membuatnya diam.
Kemudian kupaksakan untuk menyeberang jalan raya melewati motor dan mobil yang sedang berhenti. Sekitar 25 meter berjalan aku melihat tukang tambal ban dan bertanya.
“Di dekat sini ada bengkel motor nggak, Mang?”
“Oh. Di seberang yang ada pohon itu,” tunjuk Amang (bahasa Banjar dari paman) tukang tambal ban.
“Makasih, Mang.”
Begitu sampai di seberang jalan aku tidak melihat ada tempat yang pantas disebut bengkel motor. Aku bertanya kepada bapak-bapak yang lagi duduk di dekat situ. Tapi dia tidak tahu karena bukan orang situ. Kemudian aku bertanya lagi dengan bapak penjual soto.
“Di sebelah sini,” jawab bapak penjual soto itu.
Aku bingung. Di sebelah warung bapak itu memang bengkel, tapi tidak terlihat seperti bengkel motor. Banyak besi-besi besar berkarat. Ah. Yasudah. Kemudian tak lupa aku berterima kasih karena sudah diberi tahu.
Mungkin dia tahu aku bingung. Dia panggilkan montir bengkel motor itu. Aku berterima kasih lagi. Aku baru yakin bahwa itu bengkel motor setelah melihat ada plang ‘BENGKEL SEPEDA MOTOR’ di depan bengkel.
Sambil menunggu motorku diperbaiki aku merenung. Ini baru pertama kali aku membentak orang tua. Ah tolol. Aku salah. Kemudian aku curiga kakek itu malaikat yang menyamar yang dikirim untuk menguji kesabaranku. Atau jangan-jangan aku masuk reality show uji kesabaran dengan kamera tersembunyi. Kalau sabar aku akan dapat hadiah.
Kira-kira dua puluh menit kemudian motorku mau nyala lagi. Setelah membayar jasa dan berterima kasih aku pulang untuk ganti baju yang sudah bau peluh. Aku sih suka baunya. Tapi orang lain belum tentu. Setelah ganti baju, aku menjemput Gina.
Terima kasih kepada Gina dan Kausar untuk hari Senin kemarin.
Aku padahal ingin menuliskan terima kasih kepada bapak mekanik, amang penambal ban, bapak penjual bakso, dan montir bengkel motor di sini. Tapi mereka tidak tahu blogku. Lagi pula sudah aku ucapkan secara langsung.
Dari dua kisah di atas aku menyimpulkan ada dua kesamaan. Kenapa beberapa manusia langsung marah hanya dari apa yang dilihatnya di permukaan? Seperti penjual pentol yang langsung marah mendengar klakson mobil yang dibunyikan berkali-kali. Mungkin dia berpikir begini: ‘Mentang-mentang mobil, jadi seenaknya saja’. Padahal dia tidak tahu mobil itu membawa orang kecelakaan ke rumah sakit. Juga, kakek yang membentakku. Karena aku menghalangi jalannya, dia membentakku. Padahal dia tidak tahu motorku mogok. Tapi aku juga salah karena balas membentaknya.
Jadi, jangan marah dulu dong sebelum tahu sebabnya.
Maulana Usaid
25 Desember 2012
Mendapat kabar bahwa Acil Dewi ditabrak orang, aku dan mamaku langsung mendatangi tempat kejadian. Abah dan Uak Maji juga pergi ke sana. Sesampainya di tempat kejadian, sudah ada abahku, Uak Maji, dan perempuan cantik yang belakangan kuketahui adalah kawan sekantor Acil Dewi. Acil Dewi dan dua anaknya sudah ada di dalam mobil untuk dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Ulin. Awalnya aku kira itu adalah mobil orang yang menabrak Acil Dewi. Ternyata bukan, dia kawan sekantornya, Om Helman. Dan orang yang menabrak sudah pergi setelah menyalahkan Acil Dewi.
Aku dan mamaku di belakang mengikuti mobil menuju rumah sakit. Setiap ada yang menghalangi mobil segera diklakson berkali-kali oleh Om Helman. Kadang Om Helman turun dari mobil apabila macet dan memberitahu bahwa dia harus didahulukan karena membawa orang kecelakaan ke rumah sakit.
Karena melewati pemukiman warga, ada sebagian orang yang marah mendengar klakson mobil berkali-kali. Penjual pentol menyumpah. Ada juga waktu berpapasan dengan motor, pengedara motor itu juga marah mendengar klakson mobil berkali-kali. Dia menggas motornya berkali-kali sambil menginjak pedal gigi dan menahannya, istilah bahasa banjarnya adalah mengupal—aku belum tahu apa bahasa Indonesianya. Melihat itu aku hanya tersenyum kecil.
Setelah diperiksa oleh petugas IGD, kepala Acil Dewi dirontgen. Kemudian hasil rontgen didiagnosis dan Alhamdulillah tidak ada tulang yang retak atau penyakit dalam lainnya. Hanya luka memar. Kedua anaknya hanya luka kecil
Selama tiga hari Acil Dewi sekeluarga bermalam di rumahku karena kalau langsung pulang ke rumahnya tidak ada yang merawat. Rumahku jadi ramai. Seninnya, mereka pulang.
Senin kemarin, aku, Gina, dan Kausar berencana nonton film di XXI Duta Mall. Bioskop satu-satunya di Banjarmasin. Dulu sih banyak bioskop. Sekarang cuma satu.
Gina tidak bisa bawa motor sendiri karena mamanya lebih yakin kalau dia membonceng di belakang. Siang sekitar jam 1 aku jemput dia karena jarak rumahku lebih dekat. Kausar menyusul dan bertemu di XXI. Sampai di XXI, ah, antreannya panjang sekali. Akhirnya kami putuskan tidak jadi nonton. Selain karena antreannya panjang, sorenya Kausar ada janji dengan kawannya yang lain.
Karena lapar, kami putuskan untuk makan di warung Dadang. Kemudian ke rumah Gina makan es krim. Aku dan Kausar diancam tidak boleh pulang sebelum bisa memperbaiki modemnya yang sinyalnya tidak mau muncul. Aku tahu itu cuma ancaman, tapi Alhamdulillah akhirnya modem Gina bisa dipakai ngenet. Aku dan Kausar bisa pulang.
Nah, waktu akan menjemput Gina aku mengalami musibah. Motor matic-ku mogok. Aku coba menyalakannya berkali-kali tapi sia-sia. Motorku tetap tidak mau nyala. Kebetulan sekali aku melihat ada bengkel Honda di dekat situ. Ke sanalah aku.
Kata mekaniknya motorku harus diservis. “Wah. Baru seminggu diservis masa harus diservis lagi. Duitku juga kurang. Lagipula, pasti nunggunya lama. Ada banyak orang duduk di tempat tunggu.” kataku dalam hati.
“Yah. Duit saya kurang, Pak.”
“Nggak bisa,” jawab mekanik santai.
“Tolong periksakan sebentar lah, Pak.” aku mencoba minta tolong.
“Nggak bisa.”
“Yasudah. Bapak tahu nggak bengkel motor biasa di dekat sini?”
“Ada. Terus saja dari sini. Dekat kantor tentara,” bapak mekanik menjelaskan sambil menunjuk ke arah bengkel yang dimaksud.
“Oh. Makasih, Pak.”
Aku coba untuk menekan starter lagi. Tapi tetap tidak mau nyala. Waktu aku mau membawa motorku ke jalan raya, tiba-tiba ada kakek tua satu meter di sebelah kananku memarahiku karena aku menghalangi jalannya.
“Ayo cepat! Cepat!” bentak Si Kakek.
Aku hanya diam sambil memandangi kakek itu. Aku juga ingin cepat. Tapi di jalan raya lagi banyak motor karena lampu merah. Melihat aku hanya diam, Si Kakek terus membentakku.
“Ayo cepat! Cepat! Cepat!” teriaknya lagi sambil mengacungkan tongkatnya kepadaku.
Aku tidak tahan lagi. Kesabaranku hilang. Aku balas bentak dia.
“Mogok! Mogok!” teriakku yang membuatnya diam.
Kemudian kupaksakan untuk menyeberang jalan raya melewati motor dan mobil yang sedang berhenti. Sekitar 25 meter berjalan aku melihat tukang tambal ban dan bertanya.
“Di dekat sini ada bengkel motor nggak, Mang?”
“Oh. Di seberang yang ada pohon itu,” tunjuk Amang (bahasa Banjar dari paman) tukang tambal ban.
“Makasih, Mang.”
Begitu sampai di seberang jalan aku tidak melihat ada tempat yang pantas disebut bengkel motor. Aku bertanya kepada bapak-bapak yang lagi duduk di dekat situ. Tapi dia tidak tahu karena bukan orang situ. Kemudian aku bertanya lagi dengan bapak penjual soto.
“Di sebelah sini,” jawab bapak penjual soto itu.
Aku bingung. Di sebelah warung bapak itu memang bengkel, tapi tidak terlihat seperti bengkel motor. Banyak besi-besi besar berkarat. Ah. Yasudah. Kemudian tak lupa aku berterima kasih karena sudah diberi tahu.
Mungkin dia tahu aku bingung. Dia panggilkan montir bengkel motor itu. Aku berterima kasih lagi. Aku baru yakin bahwa itu bengkel motor setelah melihat ada plang ‘BENGKEL SEPEDA MOTOR’ di depan bengkel.
Sambil menunggu motorku diperbaiki aku merenung. Ini baru pertama kali aku membentak orang tua. Ah tolol. Aku salah. Kemudian aku curiga kakek itu malaikat yang menyamar yang dikirim untuk menguji kesabaranku. Atau jangan-jangan aku masuk reality show uji kesabaran dengan kamera tersembunyi. Kalau sabar aku akan dapat hadiah.
Kira-kira dua puluh menit kemudian motorku mau nyala lagi. Setelah membayar jasa dan berterima kasih aku pulang untuk ganti baju yang sudah bau peluh. Aku sih suka baunya. Tapi orang lain belum tentu. Setelah ganti baju, aku menjemput Gina.
Terima kasih kepada Gina dan Kausar untuk hari Senin kemarin.
Aku padahal ingin menuliskan terima kasih kepada bapak mekanik, amang penambal ban, bapak penjual bakso, dan montir bengkel motor di sini. Tapi mereka tidak tahu blogku. Lagi pula sudah aku ucapkan secara langsung.
[]
Dari dua kisah di atas aku menyimpulkan ada dua kesamaan. Kenapa beberapa manusia langsung marah hanya dari apa yang dilihatnya di permukaan? Seperti penjual pentol yang langsung marah mendengar klakson mobil yang dibunyikan berkali-kali. Mungkin dia berpikir begini: ‘Mentang-mentang mobil, jadi seenaknya saja’. Padahal dia tidak tahu mobil itu membawa orang kecelakaan ke rumah sakit. Juga, kakek yang membentakku. Karena aku menghalangi jalannya, dia membentakku. Padahal dia tidak tahu motorku mogok. Tapi aku juga salah karena balas membentaknya.
Jadi, jangan marah dulu dong sebelum tahu sebabnya.
Maulana Usaid
25 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar-komentar