Sabtu, 22 Februari 2014

Perempuan Itu

tidur

Ini adalah hari ketika ada pertemuan di sekolahku. Pertemuan antara guru-guru dan wali murid. Aku dan murid-murid lain tetap masuk sekolah. Tetapi tidak pakai seragam dan tidak ada pelajaran. Guru-guru dan wali murid memasuki ruang pertemuan. Sedangkan kami para murid duduk di atas lantai aula yang terbuat dari ubin. Melakukan apa saja, terserah kami, bebas.

Mataku menyisir sekeliling ruangan. Ada banyak orang. Tentu saja. Tidak jauh dariku ada Aan yang sedang asyik memandangi handphone di tangannya. Lihat, jempolnya bergerak-gerak ke atas ke bawah. Sudah lama aku tidak melihatnya begitu.

Di hadapanku, duduk seorang lelaki. Aku mengira, umurnya dua tahun lebih tua dariku. Rambutnya agak bergelombang, belah tengah dan panjang. Baju yang dia kenakan adalah kemeja lengan panjang motif kotak-kotak dominan merah. Lengan baju dia gulung sampai dirasa cukup. Tangan kanannya memegang sebuah buku. Dia bertanya kepadaku sambil mengacungkan buku itu, “Buku ini mau ditandatangani?”

“Buku itu bukan punyaku. Tapi punya dia,” aku menunjuk perempuan berambut panjang di sebelah kiriku.

“Iya. Tolong tandatangani ya.” Bibir perempuan itu membentuk senyuman. Kalau melihatnya, kamu akan bilang senyumannya itu manis.

“Ini. Sudah.”

Lelaki kemeja kotak-kotak itu pergi ke luar aula setelah menyerahkan buku itu dan mendapatkan ucapan terima kasih. Aku tidak tahu dia akan ke mana. Terserah, itu urusan dia. Urusanku adalah setelah ini.

Aku penasaran siapa perempuan yang senyumannya manis ini. Aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Mungkin saja anak baru. Tapi menurut apa yang kulihat, dia memiliki wajah yang cantik. Kulitnya putih bersih dan bibir merah mudanya itu tipis.

“Hei!” Sekarang dudukku sudah menghadap dia.

“Iya, ada apa?” tanyanya.

“Aku pinjam bukumu, boleh?”

“Tentu saja.”

Dia menyerahkan bukunya sambil mengatakan, “Ini.”

“Aku bisa mengetahui beberapa tentangmu dengan buku ini,” kataku.

“Benarkah? Ayo tunjukkan,” tantangnya.

Aku memperhatikan buku yang ada di tanganku, dengan posisi jempolku di ujung kanan buku. Kugeser jempolku hingga halaman-halamannya terbuka secara perlahan. Kemudian aku diam, sambil memperhatikan wajahnya kira-kira lima detik.

“Apa?”

“Kamu lebih suka buku yang apa adanya daripada disampul plastik. Kamu suka menandainya bila menemukan kalimat-kalimat yang bagus ketika membaca. Kamu tidak suka pembatas buku.”

“Ada lagi?”

“Oh, iya. Kamu suka membaca sambil berbaring.”

“Benar, aku suka membaca sambil berbaring. Sering kulakukan tapi tidak selalu. Aku juga membaca sambil duduk. Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”

“Begini. Sampul bukumu dibiarkan lusuh tidak disampul plastik, padahal kamu orang yang rapi. Aku melihatnya dari cara kamu menulis nama dan tanggal membeli buku. Juga dari caramu berpakaian. Dan, iya, ini, dari rambutmu yang dikuncir kuda.”

“Lalu?”

“Aku menemukan ada kalimat-kalimat yang digarisbawahi dengan pensil. Juga ada bekas lipatan di sudut halaman.”

“Kalau membaca buku sambil berbaring?”

“Karena kamu pakai kaca mata.”

Dia tertawa kecil mendengar analisisku yang terakhir. Andai saja tawanya nyaring sekali, pasti tidak akan mempesona seperti sekarang.

Dia melepas kacamatanya, “Ini hanya kacamata biasa. Buat gaya. Aku memang sering membaca buku sambil berbaring, anehnya mataku tetap normal. Tapi boleh juga analisismu tadi.”

“Aku cuma mencoba akrab,” aku mengembalikan bukunya. “Omong-omong, kenapa suka kalau buku ditandatangani penulisnya?”

“Ini hanya masalah selera kok.”

Kami jadi banyak membahas tentang buku. Biar aku ceritakan tiga di antara banyak yang kami bincangkan. Pertama, buku apa saja yang sudah kami baca. Lalu, siapa penulis yang menjadi kesukaan. Dan, kenapa suka membaca buku.

Untuk perbincangan kami yang lain tentang buku, cukup kami saja yang tahu.

Setelah puas membincangkan buku, perempuan yang memiliki senyuman manis ini mengeluarkan sebuah kantong dari tasnya. Kelereng memenuhi isi kantong itu. Dia mengajakku bermain kelereng di halaman sekolah. Awalnya aku menolak karena nanti akan terlihat seperti anak-anak. Kemudian aku mau setelah dia berkata, “Bukankah jadi anak-anak itu menyenangkan.”

Ketika sedang asyik bermain, badanku menggigil. Segera setelah mataku terbuka dan menemukan remote AC kutekan tombol off.

Percayalah, aku tidak menyesal karena tidak sempat menanyakan namanya. Aku sudah punya sebutan untuknya. Aku memejamkan mata lagi. Mudah-mudahan bertemu Perempuan Kelereng lagi.


Maulana Usaid
Februari 2014

3 komentar:

  1. Ahhhhh bagusss ceritanya. Ternyata mimpi :"

    BalasHapus
  2. ah sial kirain beneran eh ternyata mimpi -__-
    tapi btw alur ceritanya rapi, bagus bagus ceritanya :))
    bener bener PHP ini namanya hahahaha

    http://fandhyachmadromadhon.blogspot.com/2014/02/mengenal-kampung-fiksi.html

    BalasHapus

Komentar-komentar