Sabtu, 22 Maret 2014

Ada Malaikat

tenang sekali


Usai melaksanakan salat zuhur, dua lelaki keluar dari masjid. Mereka berjalan menuju tempat di mana motor yang mereka naiki sebelumnya diparkir sambil tertawa. Apa yang mereka tertawakan adalah orang yang sedang telentang di dalam masjid. Badannya besar, seperti Kentung di sinetron Tuyul dan Mbak Yul.

Ketika lelaki yang mengenakan kemeja hitam motif kotak-kotak duduk dan akan memakai kaos kaki, ada yang mendatangi mereka. “Assalamu’alaykum,” ucap lelaki tua sambil menggendong anak kecil di depan dengan gendongan. Kemudian dia menyodorkan tangan untuk bersalaman.

Dilihat dari mukanya, umur lelaki tua itu berkisar antara lima puluh sampai enam puluh tahunan. Dan anak yang digendongnya itu kira-kira tujuh tahun.

“Anu, saya minta tolong.”

“Apa?”

“Saya mau minta ongkos naik taksi ke Kereng,” ucap lelaki tua yang warna kulitnya begitu karena dibakar matahari itu. Anak kecil yang digendongnya memain-mainkan kerah bajunya.

“Dari mana, Pak?” Tanya lelaki kemeja hitam yang sudah memakai kaos kaki sebelah kanan.`

“Dari rumah adik di G Obos XII.”

“Gimana?” lelaki kemeja hitam minta usul temannya.

“Nggak ada duit!” jawab temannya.

“Permisi, Pak.”

Lelaki kemeja hitam beranjak menyusul temannya menuju motor dengan malas. Itu mungkin sengaja dia lakukan karena mengulur waktu. Kalau kamu bisa melihat mukanya, dia terlihat bingung, seperti sedang memikirkan sesuatu yang hanya dia tahu. Kecuali dia menceritakannya kepada orang lain.

Akhirnya dia luluh, dan mengeluarkan selembar rupiah dari dompet, kemudian kembali ke pelataran masjid di mana lelaki tua tadi masih duduk.

Di jalanan, lelaki kemeja hitam menyadari bahwa dia ditipu. Dia ceritakan kepada kawannya bahwa aneh sekali lelaki tua itu meminta ongkos taksi, sedangkan dia dari rumah adiknya.

“Aku tadi bingung sekali, mau ngasih atau nggak. Bagaimana kalau nanti aku yang butuh bantuan orang lain. Apalagi kamu tadi bilang nggak ada duit. Aku kan punya duit, nanti malah kejadian nggak punya duit beneran. Ah, sialan! Ternyata aku ditipu.”

“Hahaha. Aku tadi memperhatikan dia setelah kamu kasih duit. Matanya melihat ke atas dan bibirnya seperti menahan tawa.”

Tega sekali, menipu sambil menggendong anak kecil sebagai senjata. Apalagi tempat menipunya di masjid. Tapi setelah kurenungkan, lelaki tua penipu itu ternyata sedang menyamar. Aku yakin sekali dia bukan manusia, melainkan malaikat. Dia ingin mengujiku yang baru selesai salat zuhur. Apakah mau bederma atau tidak.

Aku tahu kamu pasti membaca ini. Bila aku tak mengasihmu uang, kau akan mengutukku. Lalu entah kapan, aku akan ditimpa celaka. Dan kemudian menyesal karena sudah pergi begitu saja tanpa meninggalkan uang di atas telapak tanganmu yang keriput itu. Mengaku sajalah.

Yang membuatku heran adalah, kok mau-maunya malaikat menyamar menjadi lelaki tua begitu. Badannya bau sekali. Aku penasaran, siapa yang menyamar jadi anak kecil itu, apa malaikat juga?


Maulana Usaid
21 Maret 2014

2 komentar:

  1. kisah yang bagus. sebuah pelajaran moral yang bisa dipetik.

    Baik sekali ya, sudah ditipu, masih menganggap lelaki tua itu malaikat, hihihi, tapi memang, tak sedikit orang yang menggunakan cara seperti itu untuk mendapatkan uang. Hiks.

    BalasHapus
  2. hehehe. padahal tidak ada bermaksud memasukkan pelajaran moral di fiksi ini. cuma ingin bercerita saja. :)

    BalasHapus

Komentar-komentar