Selasa, 20 September 2011

Resensi Buku - The Bartimaeus Trilogy Buku 2: Golem's Eye

Judul: The Bartimaeus Trilogy (Golem's Eye)
Penulis: Jonathan Stroud
Terbit: 2004 (AS), 2007 (Indonesia)
Tebal: 624 halaman 
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama (Indonesia), Hyperion Books (Amerika Serikat)

Resensi The Bartimaeus Trilogy (Golem's Eye)

Selesai lagi sebuah novel kubaca. Bartimaeus Trilogy Buku 2: Golem’s Eye. Karangan Jonathan Stroud. Kali ini aku akan membuat resensi lagi. Sebelum ini aku sudah pernah membuat resensi buku 1 novel ini.

Pertama, aku akan mengomentari covernya. Di cover tergambar sesosok makhluk, berwarna biru, di kepalanya mencuat dua buah tanduk yang mengilat, memegang benda sihir berbentuk bulat dengan ukiran-ukiran sihir, mata yang memiliki tatapan misterius, dan—satu yang paling kusuka, lubang hidung yang besar menganga dari moncong sang makhluk—pasti upilnya banyak dan besar-besar. Keren!

Dari ciri-ciri tersebut, aku berasumsi makhluk yang menghiasi cover adalah banteng. Sosok ini adalah salah satu wujud yang dipakai si jin cerewet Bartimaeus di novel The Bartimaeus Trilogy Buku 2 ini. Menakutkan juga.

Keberhasilan Nathaniel menyelamatkan Amulet Samarkand dari penyihir jahat Simon Lovelace, tentunya dengan bantuan Bartimeus, membuatnya bergabung di pemerintahan dalam Departemen Urusan Dalam Negeri.

Kelompok Resistance beraksi lagi. Pemberontakan mereka semakin berani. Mereka menjarah makam sang pendiri kerajaan, Gladstone. London dalam keadaan kacau. Kekacauan bertambah dengan adanya golem yang dikendalikan oleh seseorang yang tak dikenal. Golem ini merusak beberapa tempat-tempat penting di London. Dan Nathaniel ditugasi untuk memburu kelompok Resistance.

Seperti buku sebelumnya, The Bartimaues Trilogy ini dipenuhi ocehan-ocehan Bartimaeus yang ‘blak-blakan’. Jonathan Stroud memberikan karakter yang kuat pada Bartimaues. Dengan gaya humornya yang khas juga pedas, Bartimaeus berhasil membuatku menyunggingkan senyum—bahkan tertawa. Seperti kutipan adegan berikut di bab 33:
    Anak lelaki itu nyaris tak memerhatikanku; ia terlalu sibuk menulis di notes.
    “Ahem.” Si ular berburu perak terbatuk sopan. “A-hem.” Masih tak ada tanggapan. Betapa tidak sopannya. Kau memanggil seseorang, kemudian mengabaikannya. Aku terbatuk sedikit lebih keras. “A-thaniel.”
    Barulah aku mendengar tanggapan. Kepalanya tersentak ke atas, kemudian menoleh ke kiri dan kanan. “Diamlah,” ia mendesis. “Siapa pun bisa saja mendengarnya.”

Di buku 2 ini sifat Nathaniel berubah menjadi kurang peduli dengan orang lain dan memiliki sifat yang tak beda dengan para penyihir lain—haus kekuasaan. Dan aku nggak suka. Tapi nggak pa-pa lah—tuntutan peran, mungkin. Ketidaksukaanku dengan sifat Nathaniel sekarang sependapat dengan si jin Bertimaeus di kutipan berikut.
“Aku tidak menyebutmu ‘Nathaniel’. Itu karena aku melihatmu lebih sebagai Mandrake sekarang. Anak lelaki bernama Nathaniel telah memudar, nyaris lenyap.”


Oh iya, ada tambahan bab yang sebelumnya di bab satu hanya ada bab Nathaniel dan Bartimaeus. Di buku 2 ada bab Kitty, seorang commoner. Awalnya aku biasa saja dengan karakter yang satu ini. Lama-lama mulai tertarik. Karena sifatnya yang berani dan peduli. Akan kukutip adegan Kitty yang paling kusuka saat dia berusaha mengalahkan golem.
“Oh, sial.” Kemudian Kitty berlari. Bukan ke arah Jakob yang terperangah tapi menyeberangi jalan baru menuju si raksasa yang melangkah berat. Ia mengabaikan rasa sakit dan kebas di bahunya, tidak memedulikan seruan-seruan putus asa temannya; di atas segalanya, ia mengabaikan suara dari dalam benaknya yang bilang betapa tololnya dia, menjeritkan betapa berbahaya dan sia-sia tindakannya. Ia menunduk, menambah kecepatan lari. Ia bukan demon, bukan penyihir—ia lebih baik daripada mereka. Keserakahan dan sikap mementingkan diri sendiri bukanlah sifatnya. Ia berlari menuju belakang tubuh si golem, cukup dekat untuk melihat pulasan kasar di permukaan batunya, mencium bau tanah basah memuakkan yang melayang-layang di sekitar makhluk itu. Ia melompat ke kap limusin, lari melintasinya, sejajar dengan tubuh bagian atas si monster. (sampai di sini saja kutipannya, soalnya akan terlalu panjang di tulis di sini)

Kitty keren. Oh Kitty, aku padamu… I love you, Kitty. Ngek!

Terakhir. Novel ini sangat keren keren keren.

Resensi Buku - The Bartimaeus Trilogy Buku 1: The Amulet of Samarkand
Resensi Buku - The Bartimaeus Trilogy Buku 3: Ptolemy's Gate


Maulana Usaid
20 September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar-komentar