Sambil menjilati es krimnya, Salman mendadak bertanya, "Babah, kita ini orang?"
Saya yang duduk di sebelahnya sedang menulis cerita Anak Babah agak terkejut dengan pertanyaan itu dan langsung maklum karena yang bertanya itu adalah Salman.
"Iya, orang. Kita bukan hewan," jawab saya.
Salman kembali menjilati es krimnya. Es krim warna warni: ungu, biru, dan merah muda.
Sehabis magrib, kami pulang dari rumah Oma. Saya ajak Salman jalan-jalan dulu mencari es krim dan ke rumah Kai Nini. Karena rabu malam lalu saat mau buang sampah dia minta jajan es krim.
Kami mampir ke Indomaret yang saya pernah bilang kepada Salman bahwa di situ 'Ada Macan'. Kali ini tidak ada 'Macan', melainkan sepupu saya Rizqon, seorang jurnalis. Dia mondar-mandir di sekitar rak susu.
"Sorangan ja kah"? Saya mengeluarkan basa basi yang sudah umum dipakai ketika bertemu orang lain yang sendirian. Kami bersalaman. Iya, katanya.
Ternyata dia mau membeli popok buat anaknya tapi yang diinginkan tidak ada. Kami dipisahkan oleh Salman yang tidak mau diam. Dia ke kasir, saya dan Salman menuju chiller es krim.
Saya beri Salman kesempatan memilih es krimnya sendiri. Tanpa pikir panjang dia menujuk salah satu es krim. Saya beruntung, dia memilih es krim murah: Rp3.200.
Setelah menuntaskan pembayaran di kasir kami lantas duduk di meja depan Point Coffee. Kemudian keluarlah pertanyaan tadi dari mulutnya. Salman mempertanyakan eksistensinya sebagai orang.
Apa jangan-jangan karena dia merasa tidak punya free will atau kehendak bebas lalu meragukan identitasnya sebagai orang? Kemudian saya teringat bahwa pernah meloncat-loncat seolah-olah dia adalah kodok. Dia juga pernah berjalan dari dapur ke kamar dengan 2 kaki dan 2 tangan. Salman jadi semut, katanya.