Saya baru saja menyelesaikan membaca dua buku. Keduanya novel, yang pertama: Kisah yang Pendek untuk Cinta yang Panjang; dan kedua: Tangan Kotor di Balik Layar. Buku terbaru Puthut EA dalam rangka memperingati 25 tahun dirinya berkarya.
Buku pertama saya baca hari Selasa, selesai sehari. Setebal 113 halaman, bergenre romansa, tapi bukan romansa anak remaja. Buku ini bercerita soal lelaki berusia kepala empat bertemu dengan cinta lamanya, perempuan yang pernah dipacarinya semasa kuliah.
Bertemu kembali setelah 20 tahun berpisah. Mereka sudah memiliki pasangan masing-masing. Juga keturunan. Bertemu untuk menyelesaikan apa yang masih belum tuntas ketika mereka berpisah dulu. Tepatnya, sang perempuan meninggalkan si laki-laki.
Saya membaca separo buku di kafe yang masih tergolong baru beroperasi, dan sore ketika saya datang sepertinya kafenya baru buka. Saya adalah pelanggan pertama hari itu. Itu juga untuk yang kali pertama saya membaca buku di kafe. Selepas magrib saya pulang, lalu menuntaskan sisanya sampai akhir buku di rumah.
Kisah cinta mantan sepasang kekasih ini berakhir dengan seakan-akan menggantung, tetapi saya rasa begitulah seharusnya kehidupan berjalan.
Buku kedua saya baca keesokan harinya. Selesai pada hari Sabtu dini hari setelah pulang dari mengajak Salman naik odong-odong.
Buku setebal 182 halaman ini bercerita soal jurnalis muda yang ditugaskan meliput padepokan misterius. Padepokan tersebut setiap hari didatangi tamu yang memiliki hajat tertentu. Dari orang biasa sampai pejabat. Bahkan utusan Presiden juga berkunjung ke padepokan tersebut. Presiden yang sering disebut 'Pak Lurah'.
Setiap akhir bab menimbulkan rasa penasaran ingin mengetahui kelanjutan cerita di bab selanjutnya. Pada bab-bab terakhir muncul ketegangan yang saya rasa ini adalah bagian klimaksnya.
Dengan menceritakan pengalaman membaca kedua novel Puthut EA ini sebenarnya saya ingin memberitahu bahwa: Dua novel tipis ini bagus. Beli dan bacalah.